Minggu, 08 Mei 2011

DIM, SAM, DAN KABUL

 Karya : Sri Nur Aeni Sugiyanto

     "Bul bangun. Matahari sudah tinggi!" teriak Mak Uning. Seperti biasa tak ada jawaban. "Buka mata itu, cepatlah ke sumur!" ulangnya dengan nada suara lebih tinggi, tapi masih juga tak ada tanggapan. Hanya dengkur yang menjadi jawaban. Mak uning masih menggerutu ketika menyusul suaminya ke ladang. Mereka tak habis pikir dengan sifat anak tunggalnya yang sangat pemalas. Padahal tak kurang sayang dan kasihnya, tapi kabul makin bermanja-manja saja. Dia selalu bangun ketika matahari sudah tinggi.
      Sementara itu, Dim dan Sam, sepasang tupai yang sedang melintas di kebun kelapa dekat rumah Kabul saling berpandangan. Setiap pagi mereka selalu mendengar teriakan orang tua yang susah payah membangunkan anaknya.
     "Huh, anak pemalas, tak berguna." Ujar Dim
     "Benar, kasihan orang tuanya. Mereka semakin renta dan bekerja keras hanya untuk keperluan si tukang tidur itu," sambung Sam geram.
     "Ah, biarkan saja, Sam. Buruan yuk, kita bisa terlambat masuk kelas gara-gara dia!" kata Dim lagi sambil berlalu. Mereka adalah murid-murid di sekolah tupai. Sam segera menyusul, tapi dengan satu lirik lagu, "Kabul badannya besar la, la, la" Dim menghentikan langkah mendengar nyanyian Sam. Dia tersenyum seolah mendapat ide baru.
     "Bagus juga lagu itu, Sam. Mari kita nyanyikan bersama keras-keras Kabul badannya besar la, la, la..... Tapi tak berguna La, la, la... Hihihi." Mereka lari sambil tertawa. "Uh, suara siapa itu? Mereka mengolokku," gerutu Kabul. Rupanya nyanyian kedua tupai kecil itu berhasil membangunkannnya. Kabul segera bangkit. Krieet... bunyi dipan bambu menahan berat bebannya yang bongsor.
     Dia berjalan ke samping rumah, mengamati pohon-pohon kelapa yang mengelilinginya namun tak bertemu siapapun. Dia kembali masuk rumah. Berjalan ke dapur, membuka periuk nasi, dan segera menyantapnya. Kabul memang suka makan. Tidak heran jika badannya tumbuh dengan pesat. Umurnya mungkin baru sebelas tahun, tapi tinggi badannya serupa orang dewasa. Selesai makan, dia mengambil singkong dan memasukkannya dalam bara api dapur. Sambil menunggu masak, dia berjalan ke sumur untuk mandi. Sebentar lagi dia harus berangkat ke sekolah di kaki bukit. Dia memang belajar siang, bergantian dengan murid yang masuk pagi. Karena itulah kabul suka bangun siang.
     Sambil mengunyah singkong bakar, Kabul menuruni bukit menuju sekolahnya. Di tengah perjalanan, tanpa disadari dia berpapasan dengan Dim dan Sam yang pulang dari sekolah tupainya.
     "Sam,lihat,si pemalas lewat!" teriak Dim sambil bergelayut di ranting pohon. Sam menoleh. Matanya berbinar, ingat pada nyanyiannya tadi pagi.
     "Kabul badannya besar la, la, la..." Sam mulai dengan lagunya.
     "Bisanya cuma makan la, la, la..." sambung Dim. lagu itu mereka nyanyikan sambung menyambung sambil tertawa mengejek. Kabul terkejut. Dia mulai ingat bahwa suara itu yang telah membangunkannya tadi pagi. Diamatinya ranting-ranting pohon. Bayangan Dim dan Sam hanya meninggalkan gerak pada daun-daun.
     Kabul badannya besar la, la, la... Tapi tak berguna la, la, la. Kabul badannya besar la, la, la.... Bisanya cuma ngejar layang-layang la, la, la.. Ha, ha, ha... Pagi yang indah itu pecah oleh nyanyian di atas pohon kelapa.  Suaranya susul menyusul seiring gemerisik daun-daun. Kabul bagai tersengat kalajengking, melompat berlari ke arah kebun. Sumber suara yang menggangunya itu sudah tak ada. Dim dan Sam bergegas menuju kelasnya, karena pagi itu ada kuis.
     "Awas kalian, kutunggu besok pagi!" ujar kabul. Dengan bersungut dia melakukan aktivitas seperti biasa. Makan nasi, membakar singkong, lalu ke sumur.
     Benar saja. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia sudah bangun dan bergegas ke belakang rumah. Tangannya menggenggam parang. Ditunggunya kedua tupai kecil yang berani mengejeknya dengan lagu-lagu itu. Telinga Kabul mulai gatal dan panas rupanya. Tapi yang ditunggu-tunggu tidak juga muncul. Hari itu Dim dan Sam tidak ke sekolah karena libur setelah evaluasi.
     Karena lama menunggu, dia mulai mengibas-kibaskan parang pada semak-semak. Tentu saja tingkahnya itu mengundang rasa heran Emak dan Bapaknya. Mereka mengira anaknya sedang membersihkan kebun. Mereka bahkan bersyukur, mungkin anaknya sudah mulai sadar dan tidak malas lagi.
     "Begitulah seharusnya, kamu membantu kami, Bul." ujar emaknya lega. Ucapan emaknya itu disusul anggukan dan senyuman bapaknya. Kabul terkejut dan jadi salah tingkah.
     "Setelah kau bersihkan semak-semak itu, tolong belah kaya bakar ini ya Nak," kata emaknya berharap. "Jangan lupa isi tempayan di dapur."
     "Makanlah yang kenyang, Bul, agar tenagamu kuat," sambung bapaknya bangga. Kabul semakin salah tingkah.
     Dengan tenaganya yang kuat semua pekerjaan itu cepat selesai. Bahkan kayu-kayu bakar yang selesai dibelahnya disusun dengan rapi sehingga menjadi tumpukkan yang unik dan enak dipandang. Kabul tersenyum lega dengan hasil pekerjaannya. Dia mengusap peluh di wajahnya. Ada perasaan lain yang tiba-tiba merayapi seluruh badannya.
     "Hm, ternyata badan jadi segar rasanya kalau pagi-pagi sudah berkeringat," gumamnya takjub. Anehnya dengan melakukan banyak gerak tidak membuat badannya sakit, justru lebih sehat. Dia Kibaskan rambutnya yang basah oleh keringat. "Wao, benar-benar segar," ujarnya penuh semangat.
     Kini Kabul tidak harus menunggu kedua tupai itu lagi. Ternyata bangun pagi dan bekerja membuat badannya lebih nyaman. Dia jadi suka bangun pagi. Kalaupun menunggu tupai-tupai itu, tidak lagi dengan perasaan marah dan kesal, tetapi riang dan gembira. Dia ingin bertemu dengan keduanya. Dia ingin mengucapkan terima kasih. Gara-gara nyanyian kedua tupai itu, kini kabul sangat suka bangun mendahului matahari dan menggerakkan badan menyelesaikan semua pekerjaan. Badannya dirasakan semakin sehat. Emak-Bapaknya juga rasa-rasanya semakin sayang padanya. Sejak itu kabul bukan lagi anak pemalas yang suka bangun siang, tapi kini dia adalah kabul yang rajin dan bertubuh sehat. Itu semua karena manfaat bangun pagi.

0 komentar:

Posting Komentar